HUKUM IKHTILAF RU’YAH DZULHIJJAH

Bismillahirrahmanirrahim
Saudaraku muslim…

Termasuk diantara prinsip pokok Islam adalah bersatu diatas Al Haq dan menjauhi segala yang mengarah kepada perselisihan, karena perselisihan itu suatu keburukan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imron 103)

Perselisihan dalam ru’yatul hilal seringkali terjadi ditengah masyarakat muslimin dan seringkali hal itu menimbulkan keragu-raguan didalam ibadah mereka. Dan tentu ini perkara yang tidak baik dan merugikan kaum muslimin seluruhnya. Lantas, bagaimanakah jalan yang tepat didalam menghadapi masalah seperti ini? Berikut ini kami nukilkan rangkuman pembahasan Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali didalam risalah beliau “Ahkam Ikhtilaf fi Ru’yah Hilal Dzilhijjah”. Semoga bermanfaat…

Masalah ini memiliki dua gambaran:

Pertama: Keraguan berdasarkan qarinah semata atau persaksian orang yang tidak diterima oleh penguasa karena bersendirian atau dia termasuk orang yang tidak diterima persaksiaannya secara syar’i.

Maka tindakan yang tepat adalah dengan berpegang kepada yang yakin dan meninggalkan keraguan. Maka yang yakin adalah tetapnya bulan dzulqa’dah dan yang diragukan adalah masuknya bulan dzulhijjah. Sehingga yang dipilih adalah tetapnya dzulqa’dah dan belum masuknya dzulhijjah.

Oleh karena itu tidak perlu menoleh kepada keraguan tersebut secara mutlak. Karena hilal artinya sesuatu yang nampak dan diketahui umum. Maka bila ditakdirkan muncul hilal (bulan sabit) dilangit, akan tetapi manusia belum mengetahui dan tidak mengumumkannya, maka tidaklah disebut hilal. Sebagaimana bulan (Syahr) diambil dari kata “Syuhrah” yang artinya terkenal secara umum. Itulah sebabnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa kalian adalah hari kalian semua berpuasa, berbuka kalian adalah hari kalian semua berbuka dan qurban kalian adalah hari kalian semua berqurban.”

Kedua: Telah bersaksi orang yang diterima persaksiannya secara syar’i bahwa dia telah melihat hilal. Akan tetapi penguasa tetap tidak menerima persaksian orang tersebut karena udzur yang nampak atau karena kurang sempurna didalam berijtihad.

Maka tindakan yang tepat adalah tetap bersama jama’ah muslimin yang dipimpin oleh penguasa mereka yang sah, walaupun nampak pada ijtihad mereka ada kelemahan yang dapat dimaklumi sebagaimana layaknya manusia biasa yang terkadang benar dan terkadang salah, selama tidak dilakukan dengan kesengajaan untuk memilih tindakan yang salah.

Dari sini, jelaslah bahwa yang tepat, bila terjadi perselisihan seperti ini, dengan tetap mengikuti jama’ah muslimin yang dipimpin oleh penguasanya dan meninggalkan segala perkara yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan perselisihan diantara muslimin. Kecuali bila terbukti jelas bahwa pemimpin tersebut secara sengaja menolak kebenaran tanpa alasan yang diterima, maka yang diikuti adalah kebenaran tersebut.

Perlu diketahui, bahwa masalah menerima atau menolak persaksian itu termasuk masalah ijtihadiyyah. Sehingga pihak yang berwenang -dalam hal ini penguasa- diberikan haknya untuk berijtihad, bila benar maka kebaikannya untuk mereka dan rakyatnya dan bila salah maka dosanya atas tanggungan mereka, tidak atas tanggungan rakyatnya. Kecuali bila penguasa tadi mengatakan bahwa saksi ini sesungguhnya diterima akan tetapi kami menolaknya, tanpa menjelaskan alasan yang bisa diterima, maka yang diikuti dalam hal ini adalah kebenaran saksi tersebut dan tidak boleh mengikuti penguasa dalam kesalahan mereka yang disengaja.

Wallahu a’lam bi shawab

---

Penulis : Al Ustadz Abu Ubaidah Hafidzahullah